Pages

Kamis, 02 Desember 2010

Elegi untuk Negeriku


Menepis badai di tengah hingar-bingar keraguan, aku berlalu dengan penuh tantangan di tengah kerasnya peradaban. Tak kunjung malu dan menyerah, yang ku tahu hanya terus memenangkan mimpi. Entah akan jadi apa negeri ku, di tengah pergolakan politik yang tak pernah mati. Ah, sungguh dinamis problematika ini.
Dan, senyap suara kemerdekaan yang terpatri beberapa puluh tahun yang lalu, seakan hanya bisikan kalbu yang mendendang sementara. Dulu, semangat itu tak mati, lalu sekarang, semuanya hanya sejarah peradaban masa lalu. Tragis.
Perlukah kita tanyakan, siapa yang kan bertanggungjawab atas semua ini? Di saat semua tak lagi perduli dengan jerit tangis anak-anak tak berayah, isak bocah-bocah jalanan yang menggantungkan hidup di luar sana. Payah. Kisah negeri ku begitu miris mengiris.
Aku hanyalah sebagian dari partikel pembuangan kelam. Tak berayah, tak pula beribu. Mengais makan dengan menjual kata per kata. Tapi bukankah itu masih jauh lebih baik? Sedangkan sebagian kecil dari pandangan mereka menangis dan mengaum kelaparan di luar sana tanpa diperdulikan, bahkan diperbudak. Oh negeri ku, aku sungguh malu.
Lalu, setiap tetes tangis yang melengking di antara jemari yang terus menengadah hanya sebagai hiasan bumi yang tak pernah berharga oleh mereka. Sementara di rumpun mereka di sana, hidup cukup bukan lagi hal yang langka. Setiap inchi tubuh dan langkah mereka selalu dihargai dengan kemewahan-kemewahan yang menorah luka di hati bocah-bocah jalanan ku.
Sungguh aku malu wahai sang tuan, betapa negeri ini hanyalah istana-istana pesakitan untuk rakyat kecil ku. Sungguh aku menangis, negeri ku bukan tempat berteduh, namun hanyalah padang tandus tak bertepi di antara jurang-jurang penyiksaan tiada henti. Sungguh aku malu.

0 komentar:

Posting Komentar