Pages

Kamis, 02 Desember 2010

Dia Ibu…


Pernah aku terpuruk, terbengkalai oleh waktu, tapi tak terjamah titipan gundah. Aku menangis pada langit, marah pada dedaunan, dan mempertanyakan mengapa rumput masih bergoyang?

Ah, tak tertepis angan yang tak berujung seperti malam ini, aku rindu sosoknya. Cintanya setinggi langit ke tujuh di saat aku terpuruk dalam. Ia merangkulku dengan hangatnya, seperti ombak yang tak ingin meninggalkan lautan. Akui terhanyut lelap, namun tak pernah terbuai riang.

Dalam waktu yang tak berhasil mengurai tangis ku, ia hadir kembali. Ibu, ia menahan rindu di ufuk timur mentari terbit. Cintanya tak bertepi, kasihnya penuh makna. Aku ingin sepertinya, sungguh… Seperti aliran kasihnya yang tak pernah kan berakhir, aku mendambanya, pun ia telah jauh.

Jangan Pernah Tanyakan!


Bergegaslah, aku kan datang dengan penuh idealisme.
Menutup harapan kosong dengan alasan-alasan prinsipil ku.
Lalu,  jangan pernah tanyakan kapan aku kan kembali dengan kemenangan klise.
Dan, sambut aku dengan penuh riang mu karena aku masih seperti mu.

Ini tantangan Nona.
Jejal apa yang kau rasakan dengan suapan-suapan logika.
Perasaan kita mutlak, namun bukankah itu duri merona?
Lalu, ketika kau cabut, bukankah itu terdengar aneh oleh mereka?

Bukan salah Tuhan mengapa kita kadang lemah.
Bukan salah Tuhan mengapa kita kadang tuli.
Lalu, ketika sentuhan-sentuhan sendu mulai menggerogoti, maka kita kan semakin lemah.
Berhentilah mempertanyakan ini!

Pernahkah kau tanyakan, mengapa aku adalah wanita?
Dan, saat kau mulai mencari sebuah arti dari dirimu, kau kan terjatuh dalam.
Sesaat kemudian kau pun kan mempertanyakan pesakitan mu.
Lalu kau pun benar-benar kan terpuruk dan mati.

Teruntuk Sahabat…


Dalam malam yang tak henti mengurai mimpi, ku goreskan sebuah makna terindah yang pernah ku rasakan di sepanjang perjalanan hidup. Ku goreskan seuntai kenangan atas apa yang telah Ia anugerahkan, dimana indahnya kebersamaan menjadikan hati ini tak pernah berkabut. Ku dapati diriku terhanyut oleh riang tawa renyah bersama mereka.
Entah apalah namanya ini, goresan-goresan tinta ini selalu menyisakan tetes-tetes air mata pilu terkenang saat itu. Mutiara hatiku kan pergi. Penyejuk kalbuku hilang yang tak mampu ku bandingkan dengan apapun . Seperti serpihan angin di tengah padang gersang tak berampun, hanya mereka yang mampu menghapus dahaga ini. Persahabatan ini tumbuh tanpa bantuan musim. Anggur jiwa yang selalu istimewa. Oh, kekasih jiwaku, untuk mu sahabat.

Perempuan Senja Memupuk Rindu…


Perempuan senja mengukir senyum di atas padang tak berbatas.
Menuai indah pada malam yang tak henti mengurai mimpi.
Ah, ia masih secantik merpati lepas.
Rentanya bukan aral tuk mengukir sebuah kasih murni.

Ia masih tersenyum kala pilu, meski tak setegar karang.
Pun terkulai oleh buaian usia, ia masih terlihat manis.
Sepi tak mampu mengusir sisa-sisa semangat riang.
Perempuan senjaku, ia tetap istimewa meski dengan tangis.

Masih terngiang jelas, setiap inci pelukan hangatnya.
Perempuan senjaku tersenyum lelap di dalam selimut emasnya.
Ia kini telah kembali, menagih rindu-rindunya kepada asalnya.
Oh, sungguh perempuanku kini pergi tak kembali, yang tersisa hanya kerlingnya.

Izinkan Aku Menjadi Angkuh..

Kelak, kan ku jejali asa yang terbentang luas, menjadi tangguh oleh sepenggal kenangan masa lalu. Takkan pernah terdiam oleh keruh suasana jalan.
Kelak, ku kan bersinar di sepanjang Perintis Kemerdekaan*. Menari dengan indahnya saat matahari tak lagi bersahabat, dan saat angin tak ingin lagi berhembus.
Kecantikan panorama Losari* kan ku tandingi dengan gemulai riak manjaku, semua kan terpesona oleh ku. Aku yang tak pernah terjamah buasnya kota, kan berdiri tegak di sana, dengan mata-mata memandang iri pada ku.
Bukankah aku kan terlihat cantik oleh keeksotisan isi pikir ku?
Dan, semua kan tertunduk malu oleh topeng-topeng yang mereka kenakan. Lalu, merasa iri oleh kedamaian jiwa liar ku.
Takkan ada lagi padu padan warna pelangi yang menghiasi, yang tertinggal hanyalah abu-abu. Maka aku kan puas menertawakan suasana itu.
Kan ku dendangkan lirik-lirik mengelitik, menyindir dengan cantiknya saat semua tercengang. Aku akan cantik kelak, percayalah!
Maka izinkanlah aku menjadi angkuh sebelum keangkuhan ini kan membunuh sisa-sisa potret kecongkakan masa depan ku, beberapa menit saja.